|
||
|
Sambil menunggu kakakku yang lagi
diperiksa dokter puskesmas, duduk seorang ibu dengan anak laki – lakinya.
Sang Ibu dengan wajah sarat emosi, mulai membuka pembicaraan, ” Mbak, anak
saya ini hiperaktif dan sangat malas sekali untuk belajar. Setiap hari saya
capek menyuruhnya belajar. Kerjanya main melulu!!! “, ujar sang Ibu sambil
makan nasi goreng.
Saya menoleh pada anak laki –laki
yang berlarian di depan saya dengan wajah ketakutan. Saya terkejut, ia
benar-benar ketakutan! Dia memeluk saya dengan erat sambil bilang. “Dia
jahaaat, masak main mobil-mobilan saja nggak boleh!!!” sambil menunjuk ke
arah Ibunya. Matanya tegang dan mulutnya bicara sambil komat kamit. Saya tersenyum
kepada si anak, berusaha memupus ketegangannya. Sang Ibu berkata kasar
kepadanya, “Ayo!, kamu cerita sama mbak ini, kenapa kamu nakal dan malas
belajar? Ayo cerita, jangan main saja!!! ”. Jelas, ini firasat yang tidak
baik. Rupanya, sang Ibu dalam kondisi kecapekan sehingga mudah emosional.
Kemudian ibu itu bercerita “Anakku ini lho mbak, nilai ujian matematikanya
dapat angka merah. Emang anak itu ngak cerdas sama sekali!” Saya mendengarkan
sambil tersenyum-senyum saja.
Mudah dipahami, bahwa kasus di atas
yang seharusnya disalahkan bukan si anak, melainkan ibunya, yang telah
menciptakan kondisi ‘menakutkan’ bagi anak kala belajar. Dengan kemarahan dan
ancaman, sang ibu berharap mampu memotivasi si anak untuk belajar dengan
teratur. Tetapi yang terjadi, justru tekanan yang ia ciptakan, sehingga putra
tercintanya berada dalam suasana ketakutan yang membuatnya malah stress,
sekaligus menyimpan dendam dan kemarahan dalam hatinya karena tidak boleh
main kecuali belajar.
Banyak orang tua menilai kepandaian anak hanya dapat di
ukur melalui nilai tesnya disekolah saja. Ketika hasil tes matematika anak
mendapat nilai lima, orang tua menjadi sedih, kecewa, bahkan uring-uringan.
“Kok, bisa dapat lima??? Emang kamu kurang serius dalam belajar…!!!” Beberapa
pelajaran tertentu kerap digunakan orang tua sebagai standart penilaian
kecerdasan dan kepandaian anak. Matematika dan IPA, adalah dua diantaranya.
Mereka yang mampu dalam mata pelajaran ini akan mendapat predikat pandai,
sementara yang tak mampu akan dikatakan bodoh. Nilai – nilai yang bagus
dibidang lainnya misalnya, kesenian, ketrampilan atau olahraga tidak bisa
membuat orang tua menjadi bangga. Padahal, setiap anak memiliki kecenderungan
kecerdasan yang berbeda. Menurut Howard Gardner : Kecerdasan terdiri dari 8 jenis,
pada sisi otak anak, yang ternyata masing-masing memiliki gaya belajar
berbeda satu dengan lainnya. Mau tahu ciri khas gaya belajar masing-masing
sisi kecerdasan itu ???
Tentunya semua orang tua ingin
otak anak bisa menyaring dengan sebaik-baiknya informasi yang ia terima
sesuai dengan kecerdasan masing-masing. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan ke
dalam hati anak agar menyatu dengan kepribadiannya, harus diupayakan agar sesering
mungkin nampak oleh indera mereka, sehingga senantiasa berulang masuk ke
otak. Ide untuk menuliskan nilai tersebut ke dalam bentuk kalimat penyemangat
yang ditempel di sekitar tempat belajar sehingga kerap tertangkap oleh mata
dan diteruskan ke otak, adalah satu cara jitu untuk meresapkan nilai-nilai
tersebut ke dalam hati anak, sekaligus menjadi penyemangat bagi anak.
Untuk menumbuhkan motivasi dari
dalam anak, agar mampu mengatur dirinya sendiri sehingga tidak tergantung
dorongan dan orang lain, maka sebagai orang tua kita dapat mempraktikkan
beberapa cara di antaranya: tidak memaksakan kehendak, tetapi terus
memberikan motivasi kepada anak untuk terus belajar dan memberikan pujian
dengan cara yang benar. Dan tak kalah pentingnya, orang tua tidak boleh
memaksakan anak untuk berubah lebih cepat karena anak juga membutuhkan waktu
untuk berubah.
Oleh karena itu, dibutuhkan
lingkungan yang mampu memfasilitasi kebutuhan anak sesuai dengan kecerdasan
masing-masing untuk mengembangkan potensi yang dimiliknya tanpa harus
memgurangi kebutuhannya bermain serta memperkaya diri dengan akhlakul
kharimah sebagai kunci utama menghadapi segala pengaruh budaya yang tak kenal
belas kasihan.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar