Rabu, 04 April 2012

Agar Anak Asyik Belajar


sumber: google


Sambil menunggu kakakku yang lagi diperiksa dokter puskesmas, duduk seorang ibu dengan anak laki – lakinya. Sang Ibu dengan wajah sarat emosi, mulai membuka pembicaraan, ” Mbak, anak saya ini hiperaktif dan sangat malas sekali untuk belajar. Setiap hari saya capek menyuruhnya belajar. Kerjanya main melulu!!! “, ujar sang Ibu sambil makan nasi goreng.

Saya menoleh pada anak laki –laki yang berlarian di depan saya dengan wajah ketakutan. Saya terkejut, ia benar-benar ketakutan! Dia memeluk saya dengan erat sambil bilang. “Dia jahaaat, masak main mobil-mobilan saja nggak boleh!!!” sambil menunjuk ke arah Ibunya. Matanya tegang dan mulutnya bicara sambil komat kamit. Saya tersenyum kepada si anak, berusaha memupus ketegangannya. Sang Ibu berkata kasar kepadanya, “Ayo!, kamu cerita sama mbak ini, kenapa kamu nakal dan malas belajar? Ayo cerita, jangan main saja!!! ”. Jelas, ini firasat yang tidak baik. Rupanya, sang Ibu dalam kondisi kecapekan sehingga mudah emosional. Kemudian ibu itu bercerita “Anakku ini lho mbak, nilai ujian matematikanya dapat angka merah. Emang anak itu ngak cerdas sama sekali!” Saya mendengarkan sambil tersenyum-senyum saja. 

Mudah dipahami, bahwa kasus di atas yang seharusnya disalahkan bukan si anak, melainkan ibunya, yang telah menciptakan kondisi ‘menakutkan’ bagi anak kala belajar. Dengan kemarahan dan ancaman, sang ibu berharap mampu memotivasi si anak untuk belajar dengan teratur. Tetapi yang terjadi, justru tekanan yang ia ciptakan, sehingga putra tercintanya berada dalam suasana ketakutan yang membuatnya malah stress, sekaligus menyimpan dendam dan kemarahan dalam hatinya karena tidak boleh main kecuali belajar. 

Banyak orang tua menilai kepandaian anak hanya dapat di ukur melalui nilai tesnya disekolah saja. Ketika hasil tes matematika anak mendapat nilai lima, orang tua menjadi sedih, kecewa, bahkan uring-uringan. “Kok, bisa dapat lima??? Emang kamu kurang serius dalam belajar…!!!” Beberapa pelajaran tertentu kerap digunakan orang tua sebagai standart penilaian kecerdasan dan kepandaian anak. Matematika dan IPA, adalah dua diantaranya. Mereka yang mampu dalam mata pelajaran ini akan mendapat predikat pandai, sementara yang tak mampu akan dikatakan bodoh. Nilai – nilai yang bagus dibidang lainnya misalnya, kesenian, ketrampilan atau olahraga tidak bisa membuat orang tua menjadi bangga. Padahal, setiap anak memiliki kecenderungan kecerdasan yang berbeda. Menurut Howard Gardner : Kecerdasan terdiri dari 8 jenis, pada sisi otak anak, yang ternyata masing-masing memiliki gaya belajar berbeda satu dengan lainnya. Mau tahu ciri khas gaya belajar masing-masing sisi kecerdasan itu ???
  • Kecerdasan Linguistik (bahasa), ini berarti anak memiliki keahlian dalam bidang penggunaan kata-kata, baik secara lisan maupun tulisan. Mereka lebih mudah menangkap pelajaran yang disampaikan lewat penuturan atau cerita panjang lebar.
  • Kecerdasan Matematis Logis, anak suka berfikir dengan alur logis, pandai mempergunakan nalar yang benar, mereka suka bereksperimen terhadap apa yang ingin diketahui serta menyukai pelajaran berhitung.
  • Kecerdasan Spasial, kecerdasan anak yang mencakup kepekaan terhadap pemahaman ruang, bentuk, dan warna. Mereka lebih mudah membaca gambar daripada kata serta menonjol dalam bidang seni.
  • Kecerdasan Kinestetis-Jasmani, anak memiliki kemampuan yang bagus memanfaatkan tubuh berikut anggota –anggota badannya, mereka gemar membongkar dan menyusun kembali benda-benda serta kompetitif dalam bidang olahraga.
  • Kecerdasan Musikal, kecerdasan anak yang ditandai pada kepekaannya terhadap irama dan musik. Mereka cenderung menyukai belajar dengan iringan musik serta cepat merespon berbagai jenis musik.
  • Kecerdasan interpersonal, anak memiliki keahlian memahami suasana hati orang lain. Mereka cenderung mudah beradaptasi dengan lingkungan dan orang baru serta memiliki kemampuan mengkoordinir dan memimpin teman-temannya.
  • Kecerdasan intrapersonal, anak memiliki kemampuan untuk mengerti akan dirinya sendiri. Mereka mengerti dan memahami kelebihan dan kekurangan dirinya, lebih suka bekerja sendiri dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
  • Kecerdasan Natural, ia memiliki kepekaan yang bagus kepada alam sekitar, mereka suka bermain – main dan berkreasi dengan bahan- bahan alam.
Tentunya semua orang tua ingin otak anak bisa menyaring dengan sebaik-baiknya informasi yang ia terima sesuai dengan kecerdasan masing-masing. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan ke dalam hati anak agar menyatu dengan kepribadiannya, harus diupayakan agar sesering mungkin nampak oleh indera mereka, sehingga senantiasa berulang masuk ke otak. Ide untuk menuliskan nilai tersebut ke dalam bentuk kalimat penyemangat yang ditempel di sekitar tempat belajar sehingga kerap tertangkap oleh mata dan diteruskan ke otak, adalah satu cara jitu untuk meresapkan nilai-nilai tersebut ke dalam hati anak, sekaligus menjadi penyemangat bagi anak.

Untuk menumbuhkan motivasi dari dalam anak, agar mampu mengatur dirinya sendiri sehingga tidak tergantung dorongan dan orang lain, maka sebagai orang tua kita dapat mempraktikkan beberapa cara di antaranya: tidak memaksakan kehendak, tetapi terus memberikan motivasi kepada anak untuk terus belajar dan memberikan pujian dengan cara yang benar. Dan tak kalah pentingnya, orang tua tidak boleh memaksakan anak untuk berubah lebih cepat karena anak juga membutuhkan waktu untuk berubah.

Oleh karena itu, dibutuhkan lingkungan yang mampu memfasilitasi kebutuhan anak sesuai dengan kecerdasan masing-masing untuk mengembangkan potensi yang dimiliknya tanpa harus memgurangi kebutuhannya bermain serta memperkaya diri dengan akhlakul kharimah sebagai kunci utama menghadapi segala pengaruh budaya yang tak kenal belas kasihan.







Tidak ada komentar: