sumber:google |
Yang dimaksud istiqomah adalah
menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun
ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada
Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah
pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan
keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
Yang dimaksud dengan istiqomah di
sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
1. Istiqomah di atas tauhid,
sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan
menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan
dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan
dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah
dan As Sudi.[2]
Dan sebenarnya istiqomah bisa
mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa
orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun
akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut
dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat
tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah
bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan
tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu
pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan
mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan.
[4]
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa
kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga
ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan
keutamaan seseorang yang bisa istiqomah. Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat
di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya
Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Yang serupa dengan ayat di atas
adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan
bin Abdillah, beliau berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا
بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ
بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang
mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang
hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan,
"selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan
itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan
yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan
tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini?
Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah: “Bahwasanya aku
hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu
adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju
kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ayat ini memerintahkan untuk
istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah). Ibnu Rajab Al Hambali
menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya”
merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang
diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan
Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang
lurus).”[8]
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Ada beberapa sebab utama yang bisa
membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan
dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang
yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang
Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits
berikut.
الْمُسْلِمُ
إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
“Jika seorang muslim ditanya di
dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang
dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan
mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan
diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir,
pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]
Mengapa Allah bisa teguhkan orang
beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan
dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa
agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan
benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat
syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak
menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu
berbuat syirik.
Oleh karena itu, kiat pertama ini
menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan
hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi
terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar
agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai
kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena
itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama
yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan
pertolongan Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan
menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an
dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada
jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا
وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus
(Jibril)[11] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An
Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu
diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah orang-orang yang kafir:
“Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar
seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [12] Alasannya, karena Al Qur’an
adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
هُوَ
لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan
penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44).
Qotadah mengatakan, “Allah telah
menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar
bagi orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut,
“Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman
dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]
Oleh karena itu, kita akan saksikan
keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan
merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan
filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan
memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang
mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam
menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang
dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan
tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh
Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ
الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh
Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun
ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik
dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa
amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir,
pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan
membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan
sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan
berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja
dilakukan.”[16]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan,
“Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan
yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal
ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena
meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padanya,
يَا
عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ
قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau
seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia
tidak mengerjakannya lagi.”[18]
Selain amalan yang kontinu dicintai
oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh
untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul
rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg
(terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk
beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang
penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang
sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan
kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu.
Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika
menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلًّا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu;
dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil kisah
istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا
حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
(69) وَأَرَادُوا
بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan
bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami
berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi
Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan
mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata,
آخِرَ
قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ
“Akhir perkataan Ibrahim ketika
dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah
Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[19] Lihatlah
bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut? Beliau
menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula
kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang
Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.
Begitu pula kita dapat mengambil
pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا
تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا
إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Maka setelah kedua golongan itu
saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul;
sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.”
(QS. Asy Syu’aro: 61-62).
Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi
Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan
pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh. Oleh karena
itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar
bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini. Basyr bin Al
Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ
أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ
تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“Betapa banyak manusia yang telah
mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena
mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu
orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20]
Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati
semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita.
Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para artis, yang
menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati semakin
hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak pada dunia
dan gila harta. Wallahul muwaffiq.
Imam Abu Hanifah juga lebih senang
mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah
mengatakan,
الْحِكَايَاتُ
عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ
لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk
bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena
dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]
Begitu pula yang dilakukan oleh
Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini
tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali
Ibnul Mubarok.“[22]
Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul
Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan
pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “Bagaimana
mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena
sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Itulah pentingnya merenungkan
kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana,
serta hati akan terus kokoh.
Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah
agar diberi keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah
selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas
kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang
selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian.
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ
مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا
أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ
يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ
الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
“Dan berapa banyaknya nabi yang
berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,
dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami,
ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam
urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan
pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan
teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS.
Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan
dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron:
Do’a yang paling sering Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi
‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku
di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang
sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا
أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ
مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya
hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah
kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang
dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ
الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya hati berada di tangan
Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]
Keenam: Bergaul dengan orang-orang
sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an
bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi
adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah
mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ
تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin)
kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan
Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang
teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Allah juga memerintahkan agar selalu
bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS.
At Taubah: 119)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan
kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ،
وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ
، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ
أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman)
dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan
pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk
olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman
dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus
terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [26]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak
agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul
dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[27]
Para ulama pun memiliki nasehat agar
kita selalu dekat dengan orang sholih. Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ
المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan seorang mukmin kepada
mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud beliau adalah dengan hanya
memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika
orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka
pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan,
“Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa
diri penuh kekurangan.” Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda,
maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami
(murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau
muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan
sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk
meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan
nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Itulah pentingnya bergaul dengan
orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari
lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam
menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya.
Jika lingkungan atau teman kita
adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan
menyemangati kepada kebaikan. Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak
bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi
dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri
tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri
akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari
pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin
teguh dalam menjalani agama.
Demikian beberapa kiat mengenai
istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang
hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hati kami di atas agama-Mu.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul
Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi
dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir,
7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7/177.
[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hal. 245.
[6] HR. Muslim no. 38.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim
no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
4/502.
[11] Malaikat Jibril disebut ruhul
qudus oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat,
dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir
As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H).
Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau menyatakan
bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan bukan dari Allah. Ini sungguh telah
menyatakan Jibril khianat dalam menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul
muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il Ats Tsabat,
Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul Bayan fii
Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah,
cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7/184.
[15] HR. Muslim no. 783, Kitab
shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang
kontinu dan amalan lainnya.
[16] Syarh Muslim, An Nawawi,
6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul Baari lii Ibni Rajab,
1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no. 1152.
[19] HR. Bukhari no. 4564.
[20] Shifatush Shofwah, Ibnul
Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H.
[21] Al Madkhol, 1/164,
Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush Shofwah,
1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai
syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari no. 2101, dari Abu
Musa.
[27] Fathul Bari, Ibnu Hajar
Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar A’lam An Nubala’,
8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul Anfas min Haditsil
Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan
pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih Al Wabilush
Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar